Rabu, 29 Juni 2016

Second Chance (30 Hari Menulis #29: Kolaborasi)

Ayah tertawa melihatku buru-buru masuk mobil. "Kamu nih, udah jam segini baru mau berangkat. Kalo Ayah udah keburu pergi, gimana?"

"Kan nyatanya masih sempet nebeng Ayah," balasku, lengkap dengan cengiran yang membuat tawa Ayah semakin membahana.

Picture taken from pcwallart.com
Kami meluncur keluar kompleks, dan mulai menikmati kemacetan kota ini yang selalu hadir setiap pagi. Kemacetan yang selalu dikeluhkan warga, dilawan pemerintah, tapi tidak pernah benar-benar pergi, karena masyarakat - seperti kami - tetap memilih berkendara sendiri daripada mengembara dengan angkutan kota. Aku dan Ayah menertawakan hal ini.

Laju lalu lintas lambat laun mulai bersahabat. Ayah membawa mobilnya semakin dekat ke sekolahku. Itu dia gedungnya, sudah terlihat. Hanya perlu belok kiri di sini...

Tapi sebelum sampai kami ke sekolah, aku mendengar suara benturan yang sangat keras dari arah kanan, kemudian kepalaku berhantaman keras dengan kaca mobil di sebelah kiriku. Aku mencari-cari Ayah, tapi yang bisa kulihat hanya merah.

Lalu hitam.

Lalu gelap.

Lalu putih. Terang benderang. Silau! Pelan-pelan kubuka mataku, mencoba untuk meminimalisasi cahaya yang menusuk-nusuk pupilku.

Aku menemukan diriku berdiri di sebuah padang bunga yang sangat luas, Sang Mentari bertengger bangga di angkasa, bersinar seolah-olah tak boleh ada sedikitpun bayangan di Bumi.

Hanya saja, aku tidak merasa berada di Bumi.

Aku memancarkan pandangan ke sekelilingku, dan menemukan seseorang berdiri tak jauh di belakangku. Ia tersenyum. Pria? Wanita? Aku bahkan tidak bisa mulai menebak usianya.

"Kami telah menunggumu, Putra," katanya.

Menunggu aku? "Kenapa?"

"Karena hanya kamu yang bisa membuat alam semesta kembali utuh," jawabnya. Ia mulai mendekatiku.

Aku tidak bisa menjelaskan apa yang aku rasakan. Hanya: aku tidak ingin berada dekat dengan orang - makhluk - itu.

Dia tersenyum. "Yang harus kau lakukan sekarang hanyalah masuk."

"Ke mana?" Siapa kamu? Kenapa aku? Alam semesta? Ada banyak pertanyaan berkecamuk di kepalaku, tapi mulutku seolah terlalu takut untuk membuka. Di mana Ayah? Apa yang terjadi?

Sebagai jawaban, dia hanya mengangkat tangan kanannya, menunjuk ke sesuatu yang berada di belakangku.

Aku berbalik, dan melihatnya: sebuah peti mati yang dikelilingi bunga-bunga mawar.

Tidak. Tidak!

Aku berlari sekuat mungkin. Aku tidak peduli ke mana, aku hanya ingin menjauh dari semua kemustahilan ini. Ayah! Aku mau pulang ke Ayah!

Tapi usahaku sia-sia. Kedua tangan makhluk itu memanjang dan memanjang, menyusulku, melilit tubuhku, dan mengangkatku tinggi di angkasa tanpa kesulitan.

Aku melihat ke bawah, tepat ke arah peti mati yang perlahan-lahan membuka sendiri, sedikit demi sedikit.

Aku meronta

dan meronta

dan meronta

tanpa hasil.

Tubuhku melayang rendah, rendah, rendah, hingga aku berada di dalam peti mati itu, tidak bergerak, tidak bisa bergerak, atau berteriak, hanya bisa memandang nanar peti mati yang menutup, membungkusku dalam kesunyian.

Yang kulihat hanya merah.

Lalu hitam.

Lalu gelap.

Hanya gelap.

(Ini hanya bagian saya dari cerita kolaborasi kami. Untuk cerita yang lengkap hasil tulisan saya dan teman-teman kelompok saya, sila baca di link ini.)

Tidak ada komentar: